Perjalananku Menjodohkan Tempe dan Coklat.
Perjalanan ini dimulai sejak aku berhenti bekerja dari sebuah hotel. Terbiasa selalu mengerjakan sesuatu membuatku bingung saat hanya beraktivitas di rumah. Terlebih hampir semua temanku sukses menjadi wanita karir.
Ah, kadang terbesit dalam benakku, apakah ini keputusan yang tepat? Di saat teman kerjaku dulu sudah melangkah maju dengan karirnya aku hanya berhenti di sini saja. Tetapi saat kembali melihat ke arah anak-anakku dan seisi rumah aku kembali memiliki alasan untuk tetap di sini. Meluruskan niat lagi untuk berada di ranah domestik.
Di saat aku berusaha mencari jawaban, ada sebuah informasi tentang sebuah sekolah untuk menjadi ibu yang profesional.
“Ibu Profesional, apa ini? Mungkin ini yang kubutuhkan,” batinku.
Aku mencoba bergabung di dalamnya. Baru di permulaan kelas sudah banyak hal yang membuatku berpikir ulang. Tentang apa makna menjadi ibu dan seberapa besar perannya dalam peradaban. Yang menggelitik adalah materi tentang bagaimana menjadi ibu yang tidak hanya sambil lalu dan melakukan pekerjaan secara profesional. Kunci utamanya adalah mengenali diri sendiri untuk melejit dan bahagia, agar bisa menyalurkan bahagia ke seisi rumah.
Berawal dari memilah-milah kegiatan yang aku suka dan bisa, aku menemukan dua hal yang ingin kucoba. Aku mencoba berkebun, namun ternyata sapaan dari makhluk kecil berbulu itu membuat bulu kudukku berdiri. “Coret,” pikirku, aku akan mencobanya lagi ketika jiwa dan ragaku sudah siap.
Hal berikutnya adalah baking, sejak dulu aku sudah menyukai baking, dan saat ini meskipun di rumah dengan anak-anak aku masih bisa melakukannya. Aha! Aku menemukan sesuatu yang bisa dan suka kulakukan.
Trial and error, orang bilang kalau tidak dicoba mana tahu. Begitulah hubunganku dengan baking dimulai. Karena dulu baking hanya kujadikan sebagai kegiatan iseng dan sampingan saja, jadi banyak hal yang baru kusadari. Ternyata menjadikan passion sebagai sesuatu yang digeluti dengan hanya menjadikannya sekadar hobi itu sungguh hal yang berbeda.
Sudah berapa percobaan yang kulakukan, sekian kegagalan juga sudah aku alami. Namun, ternyata itu tidak mengurungkan niatku. Bahkan anak-anak yang biasanya “mengganggu” pun tidak menjadi halangan untuk terus mencoba. Justru kegiatan baking menjadi area belajar tersendiri untuk mereka. Sungguh menyenangkan jika kita bisa berdamai dengan keadaan.
Kegiatan baking terus kulakukan hingga aku bisa menjual dan menghasilkan sesuatu di situ. Rasanya bisa menghasilkan sesuatu dari hasil jerih payah atas sebuah passion sangat luar biasa.
Karena alasan itulah aku ingin berbagi dalam program Lokal Mengglobal di Ibu Profesional ini. Berbekal dari pengalaman baking dan melihat dagangan tempe di rumah, aku memutuskan untuk membuat kreasi Brownies Tempe yang menggambarkan ciri khas malang. Kualitas tempe Malang sudah banyak dikenal di berbagai daerah, karena teksturnya yang kesat dan kering, tempe Malang tidak mudah hancur saat dipotong dan mudah untuk diolah menjadi berbagai hidangan.
Awalnya sempat khawatir apakah bisa tempe yang merupakan hasil fermentasi tidak meninggalkan rasa getir dan aroma spora yang khas? Percobaan mulai kulakukan, dan wow brownies tempe ini akhirnya berhasil dengan beberapa kali coba.
Tekstur tetap lembut dan tidak ada rasa getir atau aroma tempe, yang tertinggal hanya perpaduan rasa yang lezat antara coklat dan tempe layaknya jenis kacang yang lain.
Nutrisi dalam tempe tidak kalah dengan kedelai, meskipun takarannya sudah berkurang. Tempe sudah menjadi makanan olahan Indonesia sejak jaman dulu, namanya tertera dalam beberapa prasasti di daerah Jawa. Tempe dipakai sebagai solusi untuk mengawetkan kacang kedelai dan menjadi makanan rakyat.
Meskipun dulu citra tempe sempat kurang bergengsi karena adanya ungkapan “Jangan menjadi mental tempe”, kini citra tempe sudah melejit. Tempe sudah tersedia di negara-negara lain sebagai alternatif protein. Proses fermentasinya dipercaya baik untuk pencernaan.
Sumber:
Nur Asiah-Malang Raya
Comments