Tahun 1995 adalah tahun yang sangat penting dalam hidup saya, karena di tahun tersebut saya mendapatkan tiga surat penting yaitu ijazah , ijab sah dan SK Pegawai negeri. Sebagai seorang mahasiswi dulu saya hanya berpikir bahwa asyik banget kalau sebagai perempuan bisa memiliki pekerjaan tetap, memiliki gaji dan beraktivitas di luar rumah, mungkin karena setiap hari saya melihat ibu saya seorang single parent, perempuan karir, yang sangat aktif di organisasi, politik dan dunia pendidikan (beliau kuliah kembali di usia senjanya). Namun kondisi menjadi berubah dan berbeda ketika datang seorang lelaki yang bernama Dodik Mariyanto, melamar saya dan memberikan satu kalimat permintaan
"Aku ingin anakku kelak dididik oleh ibunya, bukan oleh orang lain meskipun itu nenek dan kakeknya sendiri"
kira-kira kamu sanggup atau tidak? kalau sanggup berarti memang calon istriku, kalau tidak, memang bukan calon istriku. Kalimat demi kalimat tersebut seakan-akan mengubah banyak hal pada diri saya. Dan akhirnya saya memutuskan "ya bersedia menjadi istrinya". Konsekuensi saya ambil, SK Pegawai negeri saya lepas, dan menjadi seorang ibu yang full bekerja di rumah.
Tidak gampang ternyata, karena pada saat itu ibu rumah tangga diartikan sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki pekerjaan, sehingga dimarginalkan dan tidak dipilih sebagai profesi mulia oleh hampir setiap perempuan.
Selalu ada perasaan galau saat itu, mau tetap di rumah atau bekerja di luar rumah. Kegalauan ini mewarnai hari-hari saya di pernikahan 2 tahun pertama. Kehamilan anak pertamapun belum menyurutkan kegalauan tingkat dewa saya. Terbukti saya masih menerima banyak surat panggilan interview, efek dari saya mengirimkan banyak lamaran di sela-sela kehebohan saya mengurus rumah tangga.
Akhirnya lama kelamaan saya semakin mencintai pekerjaan saya sebagai seorang ibu. Hadirnya anak pertama menambah semakin kuatnya keyakinan hidup saya bahwa pendidikan anak dan keluarga inilah jalan hidup saya. Indikatornya hanya satu saya bahagia menjalankan peran mendidik anak-anak, sehingga tantangan sebesar apapun berhasil saya lewati dengan bahagia.
Setelah saya runut balik ternyata kuncinya hanya satu "TAAT" kepada suami, dan menerima (accepting) dengan ikhlas segala kondisi yang ada, mau memaafkan (forgiving) dan tidak menyalahkan siapapun. Setelah itu selalu mengupgrade diri dengan baik (upgrading).
Accepting, forgiving, upgrading
Sambil merenung saya kembali mempolakan apa sebenarnya hubungan antara ketaatan seorang istri dengan kebahagiaan ini. Dulu ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga, Ibu saya sangat kecewa, karena impiannya lepas. Saya minta ijin untuk bicara secara perlahan ke beliau,
"Dulu ketika menjadi anak, ridho Allah bergantung pada ridho orangtua. Sekarang ketika menjadi seorang istri, ijinkan saya meminta ridho Allah, membukakan pintu surga untuk ibu, menjemput kemuliaan dengan ridho suami"
Mari kita lihat seberapa pentingnya ridho seorang suami kepada kita. Dengan catatan suami adalah orang yang selalu mendidik kita, mengarahkan kita kepada kebaikan dan menghindarkan keluarganya dari api neraka.
Siklus Istri Taat (Siklus 1)
Jika istri taat, maka suami ridho.
karena suami ridho, maka Allah ridho,
karena Allah ridho, maka Allah memberikan rahmat kepada keluarga kita, keluarga penuh berkah,
keluarga yang penuh berkah, akan menjadi bahagia.
Istri yang selalu berada dalam kebahagiaan, membuatnya menjadi semakin taat terhadap suaminya.
Siklus Istri Tidak Taat (Siklus 2)
Jika istri tidak taat, suami murka,
karena suami murka, Allah murka
karena Allah murka, maka Allah tidak memberikan rahmat kepada keluarga kita, sehingga keluarga penuh masalah, jauh dari berkah.
Keluarga yang penuh masalah, biasanya suhunya meninggi, dan tidak bahagia.
Istri yang selalu berada dalam kondisi tidak bahagia sepanjang hidupnya, memicu dirinya untuk semakin tidak taat kepada suaminya.
Memutus Mata Rantai Istri yang Tidak Taat
Apabila menjumpai istri yang tidak taat, padahal suami sudah mengarahkan kepada hal-hal kebaikan dan menghindarkan keluarganya dari api neraka. Maka ada dua hal yang bisa dilakukan:
Pihak istri :
Segera sadar dan kembali taat
Pihak suami :
Ridho akan keberadaan sang istri, meski tidak ridho dengan sikap ketidaktaatannya. Bagaimana caranya ridho? lakukan tiga hal :
1. Menerima diri sang istri
2. Memaafkan kesalahan istri
3. Mendidiknya dengan baik.
Bagaimana kalau terjadi sebaliknya? Istri tidak ridho terhadap perbuatan suami? Tidak beda jauh dengan kondisi istri yang tidak taat terhadap suami karena kita tahu,
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi)
Istri yang tidak ridho terhadap perbuatan suami, maka menjadikannya makhluk yang terdholimi.
Orang yang terdholimi ini, doanya makbul. Allah akan mengabulkan apa saja permintaannya. Maka penyelesaiannya ada dua, kita sebagai istri mohon Allah membalikkan hati suami kita, atau sebaliknya. Semua bergantung pada kita. Kalau memang suami selalu membawa kita dan anak-anak mendekati api neraka, maka ia memang sudah tidak layak menjadi imam kita. Karena tugas imam keluarga adalah menjauhkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka.
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (QS. At-Tahrim: 6)
Comments