top of page

Mendorong Pendidikan Anak Usia Dini yang Inklusif: Belajar dari Forum Internasional SEAMEO CECCEP

  • Writer: Media Komunikasi IP
    Media Komunikasi IP
  • 23 hours ago
  • 5 min read

Oleh : Enes Kusuma


www.ibuprofesional.com [12 Juni 2025] – Pendidikan inklusif bukan lagi sebuah idealisme jauh di awang-awang, melainkan sebuah kebutuhan nyata di dunia pendidikan saat ini. Ibu Profesional diwakili oleh Ibu Enes Kusuma menghadiri acara Advancing Inclusive Early Childhood Education yang diselenggarakan oleh SEAMEO CECCEP  (Southeast Asian Ministers of Education Organization - Center for Early Childhood Care Education and Parenting) di Bandung yang  menjadi momentum penting untuk menggali praktik terbaik dan tantangan dalam pelaksanaan PAUD inklusif di berbagai negara.


Advancing Inclusive Early Childhood Education
Advancing Inclusive Early Childhood Education

Acara ini menghadirkan para ahli yaitu Prof Norimune Kawai dari Hiroshima University, Madam Jamila Kadir dari SEAMEO SEN Malaysia, Tolhas Damanik, M.Ed dari Yayasan Wahana Inklusif Indonesia, dan Suhendri, Ph.D dari SEAMEO CECCEP Indonesia. Serta dihadiri oleh berbagai kalangan: mulai dari pegiat parenting, kepala sekolah, guru, hingga perwakilan kementerian terkait.


Pendidikan Inklusif: Bukan Kemewahan, Tapi Kebutuhan

Dalam sambutan pembuka, Prof. Vina Adriany, M.Ed., Ph.D. selaku Direktur SEAMEO CECCEP dan Ir. Suharti, M.A., Ph.D. dari Kemendikbudristek menegaskan bahwa pendidikan inklusif harus dilihat sebagai kebutuhan dasar dalam sistem pendidikan nasional. Indonesia sendiri sudah memiliki payung hukum melalui Perpres No. 60 tahun 2013 tentang PAUD Holistik-Integratif (PAUD HI), namun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.


Advancing Inclusive Early Childhood Education yang digelar SEAMEO CECCEP
Advancing Inclusive Early Childhood Education yang digelar SEAMEO CECCEP

Belajar dari Jepang: Fokus pada Kekuatan Anak

Prof. Norimune Kawai dari Hiroshima University memaparkan pengalaman Jepang dalam menerapkan PAUD inklusif. Meski tampak maju, Jepang tetap menghadapi tantangan, seperti kurangnya pelatihan untuk guru, kelelahan tenaga pendidik, dan ketimpangan akses layanan bagi anak berkebutuhan khusus.


Menurutnya, keberhasilan pendidikan inklusif sangat bergantung pada:

  • Penerimaan orang tua terhadap kondisi anak.

  • Deteksi dini, terutama untuk disabilitas non-fisik.

  • Fasilitas pendukung yang memungkinkan kemandirian anak (akses kursi roda, toilet ramah disabilitas, alat bantu visual, dll).

  • Kolaborasi lintas sektor: sekolah, terapis, komunitas, dan kementerian.


Prof. Norimune Kawai menutup pemaparannya dengan membagikan sejumlah pembelajaran berharga dari pelaksanaan PAUD inklusif di Jepang yang relevan untuk negara-negara di kawasan ASEAN. Beliau menekankan pentingnya memulai dari hal-hal sederhana, seperti penggunaan Alat Permainan Edukatif (APE) visual—gambar, poster, dan media visual lainnya—yang ramah anak dan mudah diakses. Selain itu, Prof. Kawai juga menyoroti perlunya memperkuat kolaborasi dan pelatihan antar guru sebagai fondasi utama dalam membangun lingkungan belajar yang inklusif. Ia juga mendorong adanya dukungan berbasis komunitas yang aktif, serta menekankan pentingnya pendekatan pembelajaran yang berbasis pada kekuatan dan potensi unik setiap anak di kelas, bukan pada kekurangannya. Pendekatan ini diyakini dapat menciptakan ruang belajar yang lebih adil, hangat, dan memberdayakan bagi semua anak.


Perspektif Malaysia: Inklusi Bukan Sekadar Infrastruktur

Madam Jamila Kadir dari SEAMEO SEN Malaysia menjelaskan bahwa sekolah inklusi tidak hanya tentang fasilitas misalnya alat peraga, keberadaan psikolog, dan berbagai atribut fisik lainnya. Namun lebih pada keterlibatan aktif semua siswa dalam proses pembelajaran, tidak ada lagi anak yang merasa bukan bagian dari kegiatan di kelas.


Sejalan dengan pemikiran Prof. Norimune Kawai, Madam Jamila turut menegaskan bahwa dalam praktik pendidikan inklusif, peran fasilitator bukan sekadar mengajar, melainkan menggali dan menonjolkan kelebihan setiap anak—bukan terpaku pada keterbatasannya.

Hal ini dapat diwujudkan melalui pendekatan pembelajaran yang lebih beragam dan holistik: melibatkan gerakan, visual, cerita, lagu, serta mengandalkan rasa ingin tahu dan respons alami anak terhadap materi. Setiap aspek dalam proses belajar mengajar, sekecil apa pun, memiliki potensi menjadi ruang pembelajaran.


Untuk itu, SEAMEO membuat program Our Happy Neighborhood, sebuah program yang melibatkan seluruh aspek lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar (komunitas, sekolah, guru, orang tua dan anak), sehingga beban mengajar tidak hanya ada pada guru, tapi saling berbagi peran. Hal ini juga dapat mengurangi kemungkinan stres dan kewalahan pada guru.


Madam Jamila Kadir menutup pemaparannya dengan memberikan quotes, “accessibility is needed for some, but benefit everyone.” Dunia pembelajaran yang inklusif memberikan harapan dan kondisi secara keseluruhan yang lebih baik bagi kita dalam bermasyarakat, membesarkan anak dan juga bagi negara secara keseluruhan.


Tantangan di Indonesia: Dari Fasilitas Hingga Stigma

Sebagai pembicara ketiga dalam sesi ini, Bapak Tolhas Damanik, M.Ed membagikan pengalamannya dalam mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus melalui Yayasan Wahana Inklusif Indonesia. Dalam paparannya, beliau menyoroti persoalan mendasar yang masih mengakar kuat di Indonesia, yaitu kecenderungan menilai disabilitas dari sudut pandang medis—yakni sebagai kehilangan fungsi hidup sehari-hari yang harus "disembuhkan".


Padahal, dalam konteks pendidikan, semestinya paradigma yang digunakan adalah penerimaan. Sekolah, bersama seluruh pemangku kepentingan di dalamnya, memiliki tanggung jawab untuk menggali dan mengembangkan potensi setiap siswa, bukan berupaya "menyembuhkan" mereka.


Namun sayangnya, wacana inklusi kerap masih jauh dari praktik. Di lapangan, banyak sekolah bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan fisik dasar anak berkebutuhan khusus. Jangankan berbicara soal parkir khusus difabel yang dekat akses masuk atau jalur evakuasi ramah disabilitas, toilet yang bisa diakses dengan mudah pun seringkali tidak tersedia.


Bapak Tolhas mengajak peserta membayangkan: bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang harus menahan keinginan ke toilet selama delapan jam karena fasilitas yang tidak mendukung? Ini bukan sekadar soal kenyamanan, melainkan hak dasar yang diabaikan.


Lebih memprihatinkan lagi, data dari Bappenas menunjukkan bahwa 64% anak berkebutuhan khusus di Indonesia tidak mengenyam pendidikan formal. Penyebabnya beragam—mulai dari ketiadaan fasilitas hingga stigma yang membuat keluarga memilih menyembunyikan keberadaan anak dari ruang publik.


Kondisi ini membuat upaya melawan stigma terasa begitu berat. Maka tak heran jika ada yang menyebut pendidikan inklusi di Indonesia belum lebih dari sekadar ilusi. Namun, melalui suara dan aksi nyata dari para pejuang inklusi seperti Bapak Tolhas, harapan untuk menjadikan inklusi sebagai realitas tetap menyala.


Menutup dengan Refleksi: Inklusi Adalah Tentang Kemanusiaan, Bukan Sekadar Kebijakan

Forum hari ini ditutup dengan paparan menyentuh dari Bapak Suhendri, Ph.D., Wakil Direktur Bidang Administrasi SEAMEO CECCEP, yang juga merupakan penyandang ADHD sekaligus orang tua dari anak dengan kondisi serupa.


Ia membuka sesinya dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik kesadaran: “Siapa di sini yang merasa normal? Siapa yang benar-benar normal?”

Pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa definisi “normal” sesungguhnya bersifat relatif. Kita semua mungkin merasa "berbeda" dalam satu hal dan "biasa" dalam hal lain. Maka dari itu, pendidikan yang inklusif—untuk semua anak, dengan segala keragaman kondisi—menjadi keniscayaan, bukan pilihan.


Beliau menyoroti pentingnya keterbukaan pikiran dan penerimaan dari seluruh elemen sekolah dalam mewujudkan lingkungan inklusi. Tidak cukup jika hanya guru dan kepala sekolah yang terbuka—petugas parkir, penjaga kantin, hingga staf kebersihan pun harus memiliki semangat yang sama. Inklusi bukan hanya soal kurikulum, tapi juga budaya.


Dalam pengalaman pribadinya, Bapak Suhendri menceritakan perjuangannya mencari sekolah yang bersedia menerima anaknya. Setelah ditolak berkali-kali dan mengalami luka emosional yang tidak ringan, akhirnya ia menemukan sebuah sekolah inklusi yang membuka pintu. Namun, realitasnya tak seindah harapan. Meski statusnya sekolah inklusi terbaik di daerah tersebut, anaknya masih sering tidak dilibatkan dalam proses belajar. Suatu ketika, saat ada kegiatan besar sekolah, sang anak bahkan tidak diperbolehkan ikut serta karena dianggap bisa "mengganggu jalannya acara."


Kontras dengan pengalaman di Indonesia, ketika sang anak berpindah sekolah ke Jepang saat beliau menempuh studi doktoral, hasilnya berbeda drastis. Di sekolah Jepang, anaknya dipercaya menjadi duta gerak, berprestasi secara akademik, dan menjadi atlet sepak bola andalan sekolah. Ini menunjukkan betapa besar dampak lingkungan yang benar-benar menerima dan mendukung potensi anak, bukan hanya memberi label.


Namun demikian, Bapak Suhendri mengingatkan bahwa sekolah inklusi tidak harus selalu menargetkan prestasi tinggi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Yang lebih penting adalah bagaimana sekolah mampu membantu mereka memenuhi kebutuhan dasarnya, agar bisa mandiri dan bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat.


Pendidikan inklusi di Indonesia memang masih berproses, namun tren perbaikannya nyata. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa kemauan untuk berubah diiringi pula dengan kemampuan—agar setiap anak, tanpa kecuali, merasa bahwa sekolah adalah tempat mereka tumbuh, diterima, dan dihargai.


Simak terus kabar terbaru Ibu Profesional di akun media sosial, ya!





bottom of page