top of page

Because Every Mother is A Changemaker

Oleh : Marita Suryaningtyas (Tim Media KIP 2019)


Masih di hari pertama Konferensi Ibu Profesional (KIP) 2019. Waktu merangkak semakin sore, namun wajah-wajah peserta masih cerah, secerah matahari sore di Yogyakarta. Apalagi setelah terisi dengan asupan coffee break yang tersedia.

Narasumber kedua tak kalah hebat dengan Inem Jogja. Bahkan kali ini panitia perlu melakukan proses importing dari negeri seberang. Ya, narasumber kedua didatangkan langsung dari Singapura. Sumitra Pasupathy dari Ashoka Foundation. Ibu Sumi menyapa peserta dengan sangat ramah. Beliau meminta maaf karena bahasa Melayunya tak cukup bagus, maka materi akan disampaikan dalam bahasa Inggris. Oleh karenanya beliau menghadirkan Ara Kusuma, putri kedua dari Ibu Septi Peni, sebagai penerjemah.


Ibu Sumitra mengawali materinya dengan fun gimmick. Para peserta diminta untuk berdiri, kemudian mencari teman-teman baru. Setelah itu kami harus membuat grup yang berisi tiga orang dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Kapan pertama kali kamu melakukan hal baik untuk dirimu sendiri?

2. Kapan pertama kali kamu melakukan hal baik untuk orang lain?

3. Kapan pertama kali kamu melakukan hal baik untuk diri sendiri dan orang lain saat remaja?

Setiap satu pertanyaan di atas didiskusikan dalam grup-grup yang berbeda. Jadi saat itu kami berganti-ganti grup hingga tiga kali. Sebuah cara menarik untuk saling mengenal satu sama lain, kan?


Setelah Indraprasta Hotel Sahid Jaya semakin memanas dengan diskusi antar peserta. Bu Sumi kemudian menunjukkan sebuah gambar di layar. Gambar tentang seorang perempuan muda yang memeluk seekor gajah. Beliau bertanya, “Apa yang bisa kita dapatkan dari gambar tersebut?


Satu per satu peserta mengungkapkan insight yang mereka dapatkan. Ada yang menyebutkan ‘cinta’, ‘memahami’, ‘komunikasi’, ‘sentuhan’, ‘persahabatan’, ‘take and give’, ‘ketulusan’ dan masih banyak lagi hal lainnya. Bibir Bu Sumi mengguratkan senyum melihat antusiasme para peserta. “Hari ini kita akan memunculkan emosi-emosi positif yang teman-teman sebutkan tersebut.”


Journey of Sumitra Pasupathy


Sosok perempuan inspiratif ini berasal dari Malaysia. Beliau merasa beruntung karena mendapat beasiswa belajar di Inggris dan bertemu dengan belahan hatinya di negara tersebut. Selama 15 tahun, Bu Sumi bekerja di perusahaan swasta di sekitaran Eropa.

Hingga semua perubahan bermula dari kelahiran ketiga buah hatinya yang kini telah berusia 14, 12 dan 8 tahun. Menjadi ibu adalah pengalaman dan tantangan baru buat Bu Sumi. Sebelumnya beliau sibuk berkutat dengan pekerjaan di perusahaan, lalu how to be a mother?

Bagaimana pula caranya menyeimbangkan antara menjadi ibu dan karir di perusahaan? Pertanyaan demi pertanyaan tidak berhenti di situ. Perlahan mulai muncul lagi pertanyaan baru, “apa yang harus disiapkan untuk masa depan, kebahagiaan, dan membangun kepercayaan diri anak-anak?”


Lalu pada akhirnya hal pertama yang Bu Sumi lakukan adalah terlibat bersama anak-anak. Bermain bersama anak-anak ternyata mampu menimbulkan rasa percaya diri, bukan hanya di dalam diri anak-anaknya. Namun juga di dalam diri Bu Sumi. Ternyata rasa percaya diri yang muncul di dalam rumah karena mampu terlibat bersama anak-anak berpengaruh pada lahirnya kepercayaan diri saat berada di lingkungan publik.


Menyadari dampak yang beliau dapatkan, Bu Sumi mulai mencari teman seperjuangan. Beliau mencari para ibu bekerja yang memiliki tantangan sama dengannya. Bu Sumi memahami bahwa anak-anak di Singapura sangat kurang waktu mainnya. Beliau pun berpikir untuk mengumpulkan anak-anak dari para ibu bekerja ini dan membuat aktivitas untuk anak-anak beserta keluarganya.


Lalu dibuatlah platform pertama di Singapura. Sebuah area untuk bermain dan mengajak kolaborasi para seniman-seniman di Singapura. Ternyata responnya cukup baik. Bukanlah pembaharu jika puas cepat digegas. Dari sini, justru kembali muncul pertanyaan lanjutan di dalam diri Bu Sumi, “Mengapa anak-anak perlu diasah kepercayaan diri dan kreativitasnya?

Hingga perjalanan waktu membawa Bu Sumi berjumpa dengan ASHOKA. Sebuah organisasi global yang berpusat di Afrika, memiliki visi untuk masa depan dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di hati Bu Sumi.


Berkenalan dengan ASHOKA


Dibangun 40 tahun lalu di Washington DC oleh Bill Drayton. Organisasi ini didirikan untuk mencari para changemakers, yang oleh Drayton disebut sebagai the sociopreneurs. Saat ini Ashoka sudah ada di 85 negara. Di bawah Ashoka telah tercatat 3500 sociopreneurs, yang kemudian disebut sebagai Ashoka Fellows. Bahkan dua diantara para Ashoka Fellows telah mendapatkan nobel. Bu Septi Peni, founder Ibu Profesional, merupakan salah satu Ashoka Fellows.


Bu Sumi mengajak para peserta untuk menikmati sebuah tayangan video. Video tersebut menjelaskan tentang sociopreneurs lebih dalam. Video yang merupakan kisah dari salah satu Ashoka Fellows yang suka memelihara tikus. Tikus yang untuk sebagian besar dari kita adalah hama pengganggu, ternyata bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Ashoka Fellows tersebut.


Tikus memiliki indera penciuman yang baik. Bahkan bisa membaui bom di bawah tanah. Tikus ini digunakan untuk mencari bom, karena tubuh tikus sangat ringan sehingga tidak akan terdeteksi. Tikus mulai menggali, hingga manusia bisa menemukan bomnya. Dari aksi Ashoka Fellows ini, semakin banyak nyawa yang terselamatkan.


Sociopreneurs Ashoka bergerak di bidang-bidang berbeda sesuai dengan passion mereka. Saat ini kita telah memasuki dunia baru yang penuh perubahan. Perubahan yang terjadi pun sangat cepat. Bahkan 60% dari pekerjaan terbaik dalam 10 tahun mendatang masih belum ditemukan. Jenis pekerjaan juga berubah dengan sangat cepat.


Bagaimana perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi diri kita, keluarga, pendidikan dan anak muda di sekitar kita?


Kita membutuhkan solusi-solusi di era sekarang. Di era pembaharu. Yakinlah bahwa semua yang hadir di KIP 2019 adalah bagian dari para pembaharu tersebut. Ashoka percaya bahwa siapapun bisa menjadi pembaharu. Pembaharu adalah sosok yang mampu menemukan masalah dan kemudian bisa menciptakan solusi untuk masalah tersebut. Oleh karenanya kita harus mulai mempersiapkan kerangka kerja baru di masyarakat; mencari orang-orang muda yang mengambil alih peran sebagai pemimpin, kolaborator, pemilik empati yang tinggi dan mampu menciptakan perubahan.


Pembaharu tidak lahir secara instan. Semua pembaharu sudah memulai perjalanan sejak muda. Entah dulu memimpin organisasi, atau melakukan hal-hal istimewa.

Kalimat demi kalimat penggugah semangat itu meluncur dari bibir bu Sumi. Semua peserta bergetar. Getaran tersebut semakin kuat ketika Bu Sumi dan mbak Ara memperkenalkan dua Ashoka Pioneers di Indonesia. Dua anak muda yang sangat luar biasa. Mungkin sebagian besar peserta yang hadir bertanya di dalam diri. Saat seusia mereka, apa yang sudah kami kerjakan?


Mari belajar dari dua sosok Young Ashoka Fellows ini:



1. Lita - Yogyakarta (15 tahun)


Ia memiliki passion melukis dan bermain bersama. Orangtua Lita memfasilitasi passion tersebut. Lita mulai mengajak teman-temannya, tapi banyak temannya yang menolak karena tidak diizinkan orangtua. Sebagian besar temannya memberi jawaban bahwa sebagai pelajar, mereka disuruh fokus ke sekolah dan tidak mengerjakan hal-hal lain yang bagi para orangtua hanya buang-buang waktu.

Maka Lita mulai mencari sesuatu apa yang bisa dilakukan. Mulailah dia membuat aksi-aksi agar teman-temannya berani bermimpi. Salah satunya lewat Rumah Baca Lereng Merapi dan membuat film pendek berjudul “Aku Berani Bermimpi.”

Gadis muda asal Yogyakarta ini menyampaikan bahwa peran orang tua sangat penting untuk mendukung mimpi-mimpi anaknya. Jangan sampai justru orangtua yang mematikan mimpi-mimpi anaknya.


2. Amarilis (Rere), Magelang


Aksi nyata yang dilakukan gadis asal Magelang ini yaitu dengan mendirikan Rumah Baca Mc Ganz, yang ternyata memiliki makna Allah bersama kita. Melalui rumah bacanya, Rere memberikan pelatihan menulis gratis hingga menghasilkan karya.

Menurut Rere, sebagai pemuda, kita tidak perlu melakukan perubahan yang langsung besar, tetapi bisa dimulai dengan hal-hal kecil. Awal mula aksinya dikarenakan keprihatinan melihat anak-anak kecil di kampungnya yang sudah dijejali HP/ gadget oleh orangtuanya. Ia ingin anak-anak itu bebas menikmati masa kecilnya, tidak selalu terpapar layar.

Literasi tidak melulu soal tulis menulis, namun bisa juga berupa kegiatan di luar ruangan semacam ekstrakurikuler sehingga tetap mengasyikkan. Dari kegiatan ekplorasi itu, anak-anak kemudian diajak untuk membuat tulisan tentang kegiatan yang dilakukan.

Orangtua adalah bagian dari diri saya,” ucap Rere dengan tegas. Menurutnya orangtua harus menjadi supporter pertama bagi anak-anaknya. Orangtua harus menghormati keinginan dan mimpi anak-anak.


Anak-anak pembaharu lahir dari orangtua yang mampu memfasilitasi mimpi mereka dengan sungguh-sungguh.


Orangtua Lita memilihkan sekolah inklusi untuk Lita karena mereka tidak ingin Lita hanya fokus pada akademis. Mereka ingin Lita bisa bereksplorasi lebih. Ibu Lita yang saat itu hadir bersama Lita, menyampaikan betapa beliau sangat beruntung memiliki anak di era yang luar biasa. Sebagai ibu, kita juga harus mau ikut belajar dan terbuka terhadap perubahan serta mendukung hal-hal positif dari anak-anak.


Lita pun merasa beruntung karena orangtuanya memiliki value yang bisa diaplikasikan dalam kehidupannya.


Sementara itu orangtua Rere berkisah, melihat semangat Rere membuka taman baca, mereka merelakan ruang tamunya digunakan sebagai rumah baca. Untuk bisa menciptakan anak-anak menjadi orang besar; jangan pernah matikan keinginannya. Orangtua harus mendukung apa yang mereka inginkan dan cita-citakan. Jika ingin anak-anak jadi orang yang berjiwa besar, maka orantua juga harus memperlakukan anak-anak jadi orang besar bukan sekedar anak-anak.


Mendengar ungkapan hati sang Ibu, Rere merasa sangat beruntung karena mimpi-mimpinya didukung oleh orangtuanya.


Ruang Indraprasta tersulut haru. Rasa-rasanya para peserta seakan dikuliti, sudahkah menjadi orangtua yang se-mendukung itu terhadap cita-cita anak-anaknya. Menambah gemuruh di dada peserta, Mbak Ara menceritakan project pertamanya; Moo’s Project. Sebuah proyek yang diawali dari hal sederhana. Hanya karena kesukaannya terhadap minum susu dan hewan sapi. Para IPers pasti sudah sangat hafal dong dengan kisah Moo’s Project ini?


Sesi Refleksi


Tak terasa hampir satu setengah jam sesi bersama Ibu Sumitra dan Mbak Ara berlangsung. Sebagai penutup, sebuah video diputar. Video tentang Ashoka Young Changemakers. Bahwa setiap anak bisa menjadi pembaharu yang harus berani memimpin, dan memulai dengan menulis hal-hal sekecil apapun. Hal kecil buat kita bisa menjadi inpirasi besar buat orang lain.


Setelah video selesai diputar, Ibu Sumi mengajukan dua pertanyaan ini kepada seluruh peserta:


- Apakah anak muda di sekitar kita memiliki kekuatan seperti mereka?

- Bagaimana masa depan Indonesia jika anak muda memiliki kekuatan itu?

Untuk berkembang di dunia ini, di mana perubahan adalah hal yang tetap, kita perlu menguasai keterampilan untuk merangkul perubahan dan menjadi perubahan itu sendiri - menjadi pembaharu. Kita memerlukan lingkungan yang mendukung dan menghargai anak-anak untuk mencapai mimpi-mimpi mereka.


Ditambahkan oleh Mbak Ara, hasil survey yang dilakukan dari para Ashoka Fellows. Sebagian besar influencer bagi anak-anak pembaharu adalah orangtua mereka yang telah mendukung mimpi-mimpinya. Mbak Ara mengajak seluruh peserta untuk menjadi Keluarga Pembaharu dan mengikuti misi-misi yang bisa dilihat di akun instagram @keluargapembaharu.


Beberapa gagasan praktis yang bisa dilakukan untuk mendukung mimpi dan cita-cita anak-anak, bisa dimulai dengan:

- membacakan cerita mengenai ragam budaya dari beragam penulis

- menceritakan tentang young changemakers

- memberikan anak tentang tanggungjawab penuh dan kepemilikan

- mengajak anak-anak untuk mencari solusi atas masalah

- berkomunikasi secara efektif dan produktif


Selama tiga hari mengikuti KIP 2019, Bu Sumi meminta para peserta untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini:

1. Dapatkah kita memulai upaya perubahan ini bersama?

2. Bagaimana kita bisa menciptakan sinergi dan berjalan sebagai satu tim?

3. Siapa saja yang harus kita libatkan dalam gerakan ini?


Mulai hari ini, ayo lakukan perubahan! Mulai dari langkah kecil yang bisa kita lakukan! Ashoka memanggil kita untuk menjadi pembaharu. Ibu Profesional memanggil kita untuk menjadi pembaharu. Indonesia tercinta memanggil kita untuk menjadi pembaharu.
Selamat datang para Ibu Pembaharu!
99 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page