oleh: Marita Surya Ningtyas (Tim Media KIP 2019)
Jum’at, 16 Agustus 2019. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Wajah-wajah sumringah setelah mengikuti opening ceremony nampak tidak sabar untuk segera menimba ilmu dari para narasumber Konferensi Ibu Profesional (KIP) 2019. Siapa tamu pertama yang akan membagikan kisah inspirasinya kepada para ibu pembelajar?
Tak lain dan tak bukan, Inem Jogja, yang sebelumnya telah membuka event ini dengan dandanan khasnya beserta lenggak-lenggok nan ceria. Bergulirlah kisah yang membuat berpasang-pasang netra terbelalak. Betapa sebuah hal sederhana jika dilakukan dengan kesungguhan hati, hasilnya lebih dari luar biasa.
Kenapa Inem?
Pertanyaan paling umum dan paling banyak diajukan kepada mbak Made Dyah Agustina, sosok di balik Inem Jogja. Beliau menjelaskan bahwa Inem di masyarakat Indonesia sudah pamor dikenal sebagai perwujudan pelayan. Namun di sini, mbak Made ingin memberikan nilai lebih kepada tokoh yang diciptakannya. Inem Jogja adalah pelayan masyarakat.
Inem melayani masyarakat dengan berdandan dan berjoget di jalanan. Memberikan hiburan kepada siapapun yang melihatnya. Memberikan kesempatan bagi mereka yang merasa terhibur untuk berinfaq berapapun nominalnya. Infaq dari masyarakat ini dikumpulkan dalam tas kardus yang selalu dibawa Inem. Tas yang konon sudah pernah ditawar hingga puluhan juta, namun tidak diberikan. Karena tas tersebut adalah salah satu ciri khas Inem. Hasil dari infaq tersebut dialokasikan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Inem Jogja dengan wajah putih bercemong-cemong aneka warna menjadi ciri khas tersendiri. Sehingga siapapun yang melihatnya akan langsung mengenali tokoh pelayan masyarakat ini. Namun ternyata mbak Made memilih dandanan seperti itu bukan tanpa alasan. Selain agar menarik perhatian khalayak ramai, dandanannya yang terlihat edan dan tidak waras lebih aman baginya ketika berada di jalan. Penampilan Inem sejatinya untuk melindungi diri sendiri.
Perjalanan Made Dyah Agustina Menjadi Seorang Inem Jogja
Pasti sebagian dari teman-teman bertanya-tanya mengapa Inem Jogja kok memilih melayani masyarakat dengan menelusuri jalanan?
Bagaimana dengan keluarganya?
Mbak Made Dyah Agustina ternyata seorang ibu dari dua putra yang berusia 2 dan 6 tahun. Sebelum memutuskan menjadi Inem, beliau adalah seorang dosen, namun beliau tidak terlalu menikmati profesinya. Panggilan jiwanya terus memanggil-manggil untuk terjun langsung melakukan aksi nyata kegiatan sosial. Selain itu, saat menjadi dosen, beliau juga merasa anak kurang ada yang memperhatikan. Dengan pertimbangan yang sangat matang, mbak Made berhenti menjadi dosen pada 2016 saat hamil anak kedua.
Banyak orang menyayangkan keputusannya berhenti menjadi dosen, dan justru ngedan di jalanan menjadi Inem. Inilah yang perlu diluruskan. Mbak Made berhenti menjadi dosen bukan untuk menjadi Inem, namun lebih kepada fitrahnya sebagai seorang ibu yang ingin mengasuh anak-anak dengan tanganya sendiri. Beliau tidak mau dengan strata pendidikannya S2 dan suaminya S1, anak-anaknya malah diasuh oleh pembantu.
Mbak Made baru memulai menjadi Inem pada 2018. Saat itu beliau merasa sudah cukup dengan apa yang dimiliki dan ingin memberikan hal yang lebih bermanfaat kepada masyarakat. Mbak Made memerankan Inem Jalan-jalan saat anak-anak sudah ada yang mengasuh dan semua sudah terkondisikan. Di sinilah ia berkolaborasi dengan suaminya. Setelah suaminya pulang dan anak-anak ada yang menemani, baru mbak Made mulai berkeliling jalanan Jogja.
Selain menciptakan tokoh Inem Jogja, saat ini Mbak Made juga mengelola lima sanggar tari di Yogyakarta. SPP nya hanya Rp 30.000/ bulan. Namun untuk anak yang tidak mampu, beliau menggratiskan iuran bulanannya dengan menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan.
Inem Menjawab
Tiga puluh menit berlalu. Tidak terasa. Mendengarkan kisah Inem Jogja dari mulut ‘sang manajer’ secara langsung menghadirkan banyak keingintahuan lainnya. Terbukti ketika sesi tanya jawab tiba, puluhan tangan diangkat berharap dipilih oleh pembawa acara untuk menggulirkan pertanyaan kepada mbak Made.
Mbak Rima dari Banyumas mendapat kesempatan untuk mengungkapkan rasa ingin tahunya lebih lanjut. “Saya sangat terkesan dengan mbak Inem. Awalnya kan menjadi seorang dosen yang harus selalu menjaga imej, penampilan dan kemudian berubah menjadi sosok Inem. Apa yang menginspirasi? Dan kok berani? Tidak merasa malu kalau ketemu mantan mahasiswi?”
Mbak Made pun menjawab dengan gaya khas Inem yang senang melucu dan sedikit edan. Kata beliau, bukan hanya orang lain yang merasa malu melihat dirinya. Bahkan suami sendiri pun malu. Pernah suatu kali, Inem Jogja diundang ke kantor suami, suami izin tidak berangkat. Alasannya saat itu bergantian menjaga anak di rumah.
Setelah menjawab dengan dagelan, mbak Made melanjutkan jawabannya. Kali ini serius. Mengenai rasa malu, beliau mengungkapkan semua itu kembali kepada niat. Niat awalnya apa? Niat Mbak Made menciptakan sosok Inem karena beliau ingin menjadi insan bermanfaat. Beliau merasa perlu menciptakan sosok Inem karena ingin orang yang melihat tertarik kenapa ada orang gila jalan-jalan dan mengenakan dandanan seperti ini. Masyarakat yang ingin tahu ini kemudian akan menggali lebih dalam dan akhirnya memahami apa kegiatan yang sebenarnya dilakukan. Setelah banyak yang tahu, semakin banyak pula infaq masyarakat yang bisa disalurkan kepada yang membutuhkan.
Sesi tanya jawab kembali berlanjut, kali ini kesempatan bertanya jatuh kepada mbak Diah dari Jakarta. “Mbak Inem sudah jalan-jalan ke mana saja? Timnya yang mendukung siapa saja?"
Untuk saat ini Inem masih berjalan-jalan di sekitar Yogya. Jalan-jalan terjauh baru sampai ke Solo dengan menaiki Kereta Pramex. Dijelaskan oleh mbak Made, jalan-jalan di sini sebenarnya tidak murni berjalan kaki sepanjang waktu. Biasanya mbak Made akan diantar dulu ke titik tertentu oleh suami atau mengendari ojek online, lalu memulai jalan-jalan di sekitar wilayah tersebut. Untuk wilayah target jalan-jalannya, saat ini mbak Made mendapat banyak direct message di Instagram. Beliau merasa sangat terbantu dengan ‘para informannya’ ini.
Inem Jogja tidak memiliki tim khusus. Fotografer yang sering memotret dirinya di jalanan tak lain adalah kakak iparnya sendiri. Kamera yang digunakan pun kamera sewaan, sehingga tak semua aktivitas bisa diabadikan dengan layak. Untuk admin sosial media dan segala hal berkaitan dengan manajemen, semuanya dilakukan sendiri oleh mbak Made. Jika ingin bekerjasama dengan Inem Jogja, silakan teman-teman bisa menghubungi Mbak Made Dyah Agustina melalui direct message Instagram atau email.
Jadilah diri sendiri, lakukan apa yang ingin dilakukan. Jangan pernah ragu untuk mencoba sesuatu yang baru, selama itu bermanfaat. Jika kita niatkan untuk sesuatu yang bermanfaat, Tuhan akan mempertemukan kita dengan orang-orang baik. Tidak perlu menjadi seperti Inem yang edan dan tidak waras, jadilah versi terbaik diri sendiri masing-masing. (Inem Jogja, KIP 2019)
Sampai jumpa di rajutan cerita dari KIP 2019 selanjutnya!
Comentarios