top of page

Kesederhanaan Awan

Hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Bahkan sang awanpun kehilangan jati dirinya.

Badai yang tak sengaja tiba, telah memporak porandakan segalanya.

Awan termangu melihat keadaan sekitar, seandainya saja sang awan bisa meredakan sedikit saja halilintarnya sehingga badai akan enggan.


Hampir satu bulan kami tak bertegur sapa. Entah darimana harus menjelaskan ketidak nyamanan hatiku dan hatinya. Bahkan memikirkannya saja serumit benang-benang yang saling mencengkeram erat.


Sebelum menikah dahulu, aku selalu memimpikan banyak hal, terutama baiknya hubungan antara mertua dan menantu. Dahulu aku sangat berfikiran positif, bahwa pasti akan banyak cara agar hubungan kedua ini semanis gula-gula. Ya manis… amat manis. Saking manisnya menyisakan pahit dipangkalnya.

Kenyataannya itu tidaklah mudah.

Aku dilahirkan sebagai pemenang dan bukan pecundang. Dimana Salah itu Salah. Dan benar ya itu Benar. Aku tak begitu suka disalahkan ketika aku tidak salah. Apalagi harus membawa pihak ketiga dalam mengungkapkan kekecewaan.

Akan tetapi, aku adalah seorang ibu.

Sekali lagi aku menatap diri, aku adalah seorang ibu dari anak perempuan dan lelakiku.

Begitu banyak problema, dimana satu belum usai maka lainnya akan muncul kepermukaan.

Tetapi aku yakin aku pasti bisa.

Merubah berbagai macam problema ini menjadi tantangan-tantangan baru dalam hidup.

Mungkin itu cara Allah menguatkan. Menjadikan aku pribadi yang lebih kuat.

Maka tantangan terbesarku kini adalah memperbaiki segala komunikasi. Dimulai dari adik, ayah, mamah, suami, anak-anakku.

Tantangan TERBESAR dan TERSULIT saat ini adalah memulai berkomunikasi ‘kembali’ dengan Ibu. Ya… Ibu…! Ibu Mertuaku.

Mengapa sulit?? Karna sang awan merasa selalu ada diatas. Begitu tingginya sehingga ia sulit sekali merendahkan pandangannya. Padahal pemandangan dibawahnya sangatlah indah.

Bismillah… Ya Allah… ku mohon mudahkanlah prosesnya, lenturkanlah hatiku dan hatinya. Begitu juga dengan ketiga anak-anaknya.


47 views0 comments
bottom of page