KONFLIK PERAN itu akhirnya datang juga…
Mata saya berkaca, tangan saya menghangat memijat kaki sikecil sambil sesekali mengusap-usap perutnya. Si kecil tergolek lemah lunglai, dan sudah sehari semalam badannya demam dan meninggi di kala malam saja. Tiga hari menjelang acara Milad IIP Surabaya sikecil mendadak panas tinggi, dan batuk keras ditambah hilangnya nafsu makan secara tiba-tiba. Saya bilang tiba-tiba karena memang hari hari sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan gejala mau sakit pada umumnya. Tiba-tiba saja magrib menunjukkan perubahan begitu drastis.
Pikiran saya langsung melaju memperkirakan tindakan apa yang bisa saya ambil di saat ini. Bayangan saya meresah karena gejala yang terjadi hampir mirip ketika si kecil terkena Demam Dengue, hingga akhirnya harus di Opname di Rumah Sakit. Setelah berdiskusi bersama suami, Jumat esok pagi diputuskan si kecil kami bawa ke Dokter Anak langganan untuk memastikan gejala apakah yang sedang dirasakan si kecil. Walaupun saya tahu pasti dokter tidak bisa menegakkan diagnosa karena panas demam malam si kecil belum melewati tiga hari sebagai tahap prognosis awal untuk pengambilan cek darah. Namun, setidaknya dengann berkonsultasi dengan dokter, kami bisa mempertanyakan kondisi si kecil jika kami bawa esok Sabtu-Ahadnya keluar kota (Surabaya) untuk persiapan acara Milad IIP Surabaya Raya.
Jumat malam, pikiran saya teraduk menjadi satu, antara memikirkan kesehatan anak, bagaimana persiapan acara di Surabaya, membuat Laporan Pertanggung Jawaban Komunitas, Review editing final Film IIP dari Sutradara dan running persiapan Matrikulasi. Plus, koreksi final Naskah Project Buku Jurnal Ibu Pembelajar yang harus masuk penerbit awal pekan depan. Plus, menyiapkan bahan diskusi di kelas Fasilitator BundsayNas yang kebetulan Ahad bertepatan juga harus presentasi. Arrgh..rasanya kepala penuh dan berasap. Mana yang bisa saya delegasikan, mana yang harus saya berikan ke support sistem…dan semua harus saya jalani satu satu dengan beberapa menurunkan standar pencapaian, dan menyampaikan ke pada beberapa teman satu tim bahwa saya harus fokus ke pada beberapa hal lebih dulu. Saya bersyukur, suami memahami kepenatan saya kala itu. Memberi ruang saya untuk sendiri dan berpikir.
Dihari Sabtu, kami memutuskan bersiap menuju Surabaya untuk melakukan Gladi Resik di Hotel Halogen. Sempat ragu, apakah jadi berangkat ke Surabaya atau tidak. Sedangkan hotel tempat kami menginap sudah di booking, koper si kecil sudah siap dari 4 hari lalu, baju dan perbekalan semua sudah siap sepekan kemarin.
***
Akhirnya Konflik Peran ini datang juga. Disaat bersamaan harus menjalani dua peran yang bertumbukan. Jika dalam kondisi tenang, kadang saya membayangkan bagaimana jika suatu ketika ada sebuah kepentingan yang mengharuskan saya memilih. Misal, saat bekerja dulu jika harus ada meeting atau dinas luar kota kemudian jika ada kabar dari keluarga sakit. Bagaimana saya harus bersikap?. Tujuannya agar bisa menimbang dan bersiap berlatih jika kondisi ini akan datang, dan putusan yang diambil lebih logis – tenang karena sudah pernah disimulasikan dalam bayangan. Sama hal nya ketika didapuk menjadi Leader IIP Surabaya Raya, sayapun membayangkan bagaimana jika ada suatu kondisi saya harus memilih tetap sebagai ibu/istri disaat bersamaan juga harus berperan mendampingi teman-teman di acara komunitas IIP. Selama ini, hampir bisa disiasati karena bobot konflik nya tidak terlalu besar, mungkin berhubungan dengan geser jadwal dengan agenda lain dan menyesuaikan dengan jadwal keluarga besar. Jika berhubungan dengan ridho suami maka selalu diselesaikan dengan diskusi, Dan ketika konflik perannya dihadapkan dengan urusan “Anak” bobot Konflik peran masuk menjadi kategori paling tinggi, apalagi kalau anak sakit dan menempelnya hanya mau sama Umminya.
***
Maka ada beberapa pertanyaan yang menjadi acuan, dalam proses menimbang:
- Seberapa urgensi kegiatan acara tersebut?
- Peran apa yang sekiranya bisa didelegasikan/dipindah tugaskan/dilatihkan ke pihak lain?
- Apa manfaatnya kegiatan tersebut bagi si kecil dan keluarga jika saya ikut?
- Apa dampak yang akan diperoleh jika harus memilih salah satu kegiatan tersebut?
- Apa “cost” (biaya) yang harus dibayar jika memilih salah satu hal tersebut? (finansial, emosi, effort lebih)
- Apakah ada alternatif solusi yang bisa menjadi pengganti solusi utama?
Untuk kasus saya, usai gladi resik jam 21.30 sabtu malam dikamar Hotel sempat menjadi diskusi dengan suami meliihat kondisi sikecil yang rebahan dengan batuk berkali kali hingga subuh, dan otomatis memicu mata panda saya dan badan mak semriwing karena harus bergadang mengusap usap tubuhnya memastikan panasnya tidak lebih dari 39 derajat.
“ummi, jika kondisi terburuk besok harus bagaimana?”
“Apa memungkinkan video call atau press conference?”
Tentang press conference video call sempat menjadi alternatif solusi yang terpikirkan. Tapi, kondisi nya tentu berbeda dan komunitas ini dirasa belum siap untuk touchy yang virtual. Bayangan saya dan suami kebanyakan nonton film The Shield avengers yang hubungan jarak tempat dan waktu tidak menjadi masalah untuk rapat virtual cukup via citra proyeksi layar 3D hehehe. Namun, tim pengurus sudah saya siapkan untuk case worst plan terburuk jika saya harus ke RS, dan LPJ didelegasikan oleh pihak lain.
Ah..mohon bantu back up mu Ya Allah, emosi menjadi teraduk-aduk karena ini adalah moment terakhir saya bisa mempertanggung jawabkan atas kepercayaan yang diberikan teman-teman kepada saya. Namun, disaat bersamaan saya adalah Ibu dari anakku yang sedang sakit.
***
“Bismillah ya bi...mohon bantuannya..”
“Anina sholehah, ummi besok ada acara sama Ibu Profesional, nanti Ummi akan maju kedepan seperti biasa, mohon kerjasamanya ya nak…Anina dan Ummi sama-sama nonton film yang sudah kita belajar bareng sama Om fauzan itu lho..” Sounding saya pagi itu selepas subuh.
Genderang perang sudah ditabuh, pantang mundur. Maka saya berazzam mengontrol ketat kondisi Anina selama acara, termasuk menjaga mood dan kenyamanan hatinya. Jika kondisi panas mendadak apalagi sampai muntah maka saya harus ridho, segera pergi dari acara. Termasuk menerima konsekuensi jika seharian penuh si kecil menjadi baby Koala yang hanya mau menggantung peluk ke Ibunya saja semenjak pukul 08.00 – 17.00 WIB.
Moment presentasi LPJ di penghujung siang dengan menggendong satu tangan anak usia 3,4 tahun dihadapan ratusan mata menjadikan sebuah moment berharga. Saya sudah tidak memperdulikan apa pikiran orang lain tentang kondisi kami, yang tentu menimbulkan tanda Tanya, mengapa si kecil sedari awal hanya diam minta digendong saja. Berasa buah simalakama.
Yang ada dipikiran saya hanya ingin segera menjalani dua amanah yang sama-sama saya sungguhi dengan sebaik-baiknya. Saya ibunya Anina, dan saya yang diberi amanah menjadi Leader hingga pukul 15.00 nanti.
Tabah sampai Akhir.
Saya hanya ingin memastikan semua yang dijalani hari ini berbekas di ingatan si kecil bahwa, semua dijalani dengan menyenangkan, ketenangan dan rasa nyaman. Maka, pentingnya fokus membangun interaksi membahagiakan selama acara dengan sikecil memastikan emosinya stabil tidak rewel.
Imaji positif ini yang perlu diasosiakan dan dibangun.
“Anina tadi sedih menangis kenapa waktu di acara?”
“Anina tadi sedih ditinggal ummi maju, ga mau sama abi, sama ummi saja”
“Anina, senang saat ngapain sama Ummi?” “Waktu maju sama ummi kedepan lihat film Ibu Kucing”
Saya pun mencoba menggali feedback dari si kecil, jangan-jangan saya yang terlalu egois. Ternyata di awal acara si kecil sempat menangis lantaran ga jadi maju bersama saya saat memberikan sambutan acara hehe.
Dan Alhamdulillah, syukurnya si kecil begitu berkesan dengan proses pembuatan film yang kami sebut sedang belajar membua film dengan Om Fauzan, dimana saya (sikecil menyebut saya Ibu Kucing-efek BunSay Level 10 ) yang sedang main film bersama Tante kucing (mbak Septi, teman figuran didalam Film tersebut). Si kecil pun begitu merekam gerakan Cancel..cancel go..away dan Huu Yess..
Segera sehat ya nak, agar bisa bermain kembali bersama ummi.
Dan saya pun menerima cost dari putusan yang dibuat, beberapa otot lengan kiri dan punggung saya agak keselo karena terlalu lama menggendong si kecil hehehe… Anina gak mau pakai gendongan, pakai tangan ummi saja.
Banyak hikmah yang diperoleh, salah satunya.. bisa jadi ini adalah cara Allah agar akhirnya saya dan suami bisa duduk tenang bersama didalam ruangan menyimak materi dan berdiskusi FSP. Karena rencana awalnya, saya dan suami bergantian menjaga si kecil di KC yang jelas ini tidak akan terlalu membuat kami fokus menyimak.
Selain itu, ini adalah cara Allah juga menjaga hati saya agar “tidak terlalu bahagia”, karena acara yang dilaksanakan berlangsung sukses..lancar..berkah diluar ekspektasi kami semua. Kepengurusan baru yang insyaAllah sudah dipersiapkan lebih dulu, acara yang mengena, kejutan film yang berhasil, ditambah pula surplus dana yang diluar dugaan kami semua. High energy ending.
Saya teringat nasehat Umar bin khattab:
"Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah diantara keduanya itu yang baik bagiku..." - Umar Bin Khattab
Mensiasati-nya penuh ridho semua pihak, itu kuncinya.
Karena sejatinya kita hidup dengan banyak multi peran, jangan dikonflikkan.
Keep Calm.
Keep Forward.
Semanggi!
"Anina sakitkah?" tanya saya. Anina ngasi jawaban dengan menggelengkan kepalanya. Saya dalam hati " Aaammiin". :D
Btw, walaupun jadi IRT jam terbang mbak fardha tinggi melesat euy. semangat ya mbak. barakallah. terima kasih sudah menjadi leader yang wowsome. sekarang mbak fardha naik jabatan lagi, bukan turun jabatan. :D
Mbak Anina, semoga lekas sehat ya :) MashaAllah keluarga ini. Meski perasaan pasti dominan karena anak sakit, tapi masih mempertimbangkan hal2 yang logis. Dimensi perasaan dan rasional jadi satu. Terimakasih mba Farda, sudah menjalankan amanah IIP Surabaya Raya dengan penutupan yang luar biasa namun juga haru. resentasi LPJ lagi menggendong satu tangan Anina.