Changemaker.
Bismillahirrahmanirrahim.
Sebagai seorang Psikolog, saya merasa ada tantangan-tantangan kehidupan yang perlu saya jawab. Baik tantangan yang berasal dari lingkungan, maupun tantangan dari diri saya sendiri. Tentu saja tantangan ini berjumlah banyak dan beragam. Namun disini, saya akan fokuskan pada isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan pada keluarga, terutama pada well being seorang ibu rumah tangga dan kaitannya terhadap perubahan peradaban.
Setelah mempelajari banyak teori, menghayati kasus-kasus yang terjadi di klien dan lingkungan sekitar, serta mencoba menghayati pengalaman pribadi, maka saya menyimpulkan ada beberapa tantangan yang perlu saya garis bawahi, yaitu:
Lingkungan Sosial
1. Masih minimnya individu yang memahami tentang manfaat menjadi ibu rumah tangga, baik untuk keluarga intinya, maupun untuk kondisi masyarakat di sekitarnya
2. Masih minimnya literatur yang menceritakan tentang how to survive as a full time mother. Padahal, setiap profesi selalu memiliki tantangan masing-masing yang membutuhkan penanganan yang berbeda-beda pula.
3. Banyak informasi tentang bagaimana mengatasi perilaku anak. Namun sedikit sekali informasi yang membahas tentang well being seorang ibu. Padahal anak yang bahagia dibesarkan oleh ibu yang bahagia.
Diri pribadi
1. Saya memiliki keterabatasan waktu dan tenaga karena saat ini sedang membersamaian kedua anak laki-laki yang berumur 1,5 tahun dan 2,5 tahun, mengurus rumah, serta hamil anak ketiga (2bulan). Hal ini menjadi tantangan bagi saya untuk bisa tetap menyebar kebaikan tanpa perlu mengabaikan keluarga
2. Sejak mengikuti matrikulasi di Institut Ibu Profesional, saya menemukan bahwa peran saya adalah sebagai seorang penulis. Namun, saya pribadi belum secara serius mengasah kemampuan menulis saya.
Untuk itu, proyek yang insyaAllah akan saya lakukan untuk menjawab tantangan-tantangan di atas adalah membuat novel yang berkaitan dengan kehidupan ibu rumah tangga. Novel ini rencananya akan dibuat sebagai bentuk trilogi, yang artinya akan ada 3 buku dengan tema yang masih berkaitan. Sinopsis ketiga buku tersebut insyaAllah adalah sebagai berikut:
1. Buku pertama bercerita tentang Mia, seorang ibu yang memutuskan untuk resign dari kantornya dan memilih menjadi ibu Rumah Tangga. Disini diceritakan bagaimana Mia mengalami berbagai tantangan saat ia menjalani profesinya sebaggai ibu rumah tangga, dari mulai asisten rumah tangga yang berhenti sehingga ia harus kerepotan dengan urusan pekerjaan domestik, menyesuaikan waktu dan tenaga dengan jadwal baru, hingga masalah tentang keuangan.
2. Buku kedua berisi tentang perjalanan spiritual Mia yang ia alami selama menjalani profesi barunya sebagai ibu rumah tangga. Tentang bagaimana ternyata keputusannya tersebut justru mempertemukan dia dengan “Pak Tua”. Sosok misterius yang mengaku sebagai utusan “Sang Penguasa”. Inti dari cerita ini adalah penjelasan tentang bagaimana menjadi seorang ibu tidak hanya tentang merubah lingkungan keluarga inti saja, tapi lebih jauh lagi, yaitu membentuk peradaban yang lebih baik.
3. Buku ketiga berisi tentang cerita Riska, seorang ibu rumah tangga yang banyak membantu Mia mengatasi permasalahan-permasalahannya saat ia baru terjun ke profesi ini. Mia menganggap Riska sebagai salah satu contoh ibu rumah tangga yang berhasil dan menjadikannya panutan. Namun, dibalik keberhasilannya itu, ternyata Riskapun sudah lebih dulu mengalami berbagai permasalahan hidup. Pengalaman Riska yang ditinggal ibunya untuk bekerja ke luar negeri sebagai TKW membuat dia bertekad untuk mengurus anaknya sendiri. Dia tidak ingin anaknya mengalami “kekosongan hati” seperti yang ia alami. Namun, ternyata keinginan tak seindah kenyataan. Banyak tantangan yang ia hadapi demi mewujudkan mimpinya tersebut, dari mulai ketidak setujuan ibunya, baby blues saat mengurus anak pertama, hingga rumah tangga yang terancam hancur.
Menulis fiksi sebagai salah satu bentuk tindakan yang saya lakukan sebagai agen changemaker bukan tanpa alasan. Sebagai seorang psikolog, ada beberapa pertimbangan mengapa saya tertarik menulis fiksi, diantaranya:
1. Keberhasilan tertinggi seorang konselor terjadi ketika kliennya mendapatkan insight sendiri atas permasalahannya. Karena tugas utama seorang konselor adalah sebagai fasilitator. Dan proses mendapatkan insight dari diri sendiri ini juga sangat mungkin didapatkan ketika seseorang membaca buku fiksi. Karena seorang penulis cerita fiksi hanya menceritakan hikmah di balik alur cerita yang ia jabarkan. Namun seperti apa proses pengambilan hikmah tersebut, itu diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
2. Membaca suatu cerita butuh proses. Sehingga manfaat atau perubahan yang kita inginkan tidak langsung bisa kita dapatkan. Tidak seperti ketika kita mendengar lagu dengan nada cepat yang bisa langsung merubah mood seketika. Membaca suatu cerita butuh perenungan, pemahaman dan penghayatan. Hal ini mirip dengan proses konseling di psikolog. Proses konseling membutuhkan waktu untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Prosesnya berbeda dengan ketika kita berobat ke dokter yang biasanya hanya dalam satu kali pertemuan singkat, dokter sudah bisa menemukan apa permasalahannya dan memberikan obat.
3. Ketika orang dewasa bertemu psikolog, sedikit banyak ia akan merasa diperhatikan. Dan ada stigma bahwa para psikolog akan membaca segala hal tentang dirinya, termasuk bahasa tubuh. Ini wajar, karena begitulah proses pembelajaran pada orang dewasa. Sebagai orang yang sudah memiliki pengalaman, orang dewasa akan memproses segala input baru yang masuk dengan pengalaman-pengalamannya di masa lalu. Efek seperti ini bernama “Halo Effect”.
Namun saat membaca cerita, pembaca tidak perlu merasa dirinya diperhatikan. Karena seorang penulis tidak akan mengetahui dimana dan dengan cara apa pembaca akan membaca karyanya. Sehingga ini akan memudahkan pembaca untuk mengambil hikmah karena tidak perlu pusing memikirkan bagaimana mereka seharusnya berperilaku di depan psikolog.
4. Berbeda dengan tulisan non-fiksi yang to the poin, tulisan fiksi memfasilitasi pembacanya untuk mengeksplorasi hikmah lebih dalam. Sebuah cerita tentang mafia bisa saja menyentuh sisi spiritual pembacanya. Hal ini dimungkikan karena saat membaca fiksi, imajinasi pembaca terlibat sehingga memungkinkan proses ini terjadi.
5. Menulis fiksi bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Hal ini mempermudah saya untuk menjawab tantangan dari dalam diri saya yang saat ini sedang memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk berbagi hikmah.
6. Membaca fiksi seperti kita sedang bertemu teman lama, lalu pergi ke suatu tempat untuk saling berbagi cerita. Tidak ada yang saling menyalahkan, tidak ada yang saling mengamati, namun saat pulang, kita semua sama-sama mengambil hikmah dari cerita masing-masing. Dan itu menyenangkan karena tidak ada satupun yang merasa sedang digurui.
Langkah-langkah
Langkah-langkah yang akan saya lakukan di tahun 2018 untuk merealisasikan rencana saya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aktif mengikuti grup kelas belajar menulis yang saya ikuti, baik menyimak materi, bertanya, berkomentar, mengumpulkan tugas, maupun mengikuti event-event yang di adakan.
2. Konsisten membaca dengan program OWOB (One Week One Book) untuk menambah materi dari buku yang ingin saya tulis.
3. Konsisten memposting tulisan saya seminggu 3 kali di blog
4. Mencari penerbit yang sesuai dengan value buku saya dan menerbitkannya.
Demikian program Changemaker saya yang InsyaAllah akan saya lakukan di tahun 2018. Semoga bisa konsisten dan memberikan perubahan yang positif bagi masyarakat. Aamiin.
ide kita mirip, mbak...Udah jadi, mbak? Collab, yuukk... ;-) Novel pertamaku adalah tentang nilai-nilai keluarga. Alhamdulillah, akhirnya terbit.