Era digital ditandai dengan konversi dari sistem kerja serba manual menjadi berteknologi digital. Dalam hal ini tidak hanya elektronisasi, tetapi juga dukungan jaringan komunikasi antar komputer yang terhubung melalui telepon atau satelit di seluruh dunia. Singkatnya, internet.
Keberadaan internet yang menyapa umat manusia sejak 1980-an membawa perubahan besar dalam hidup kita. Terutama dalam beberapa tahun ke belakang, saat internet tidak lagi menjadi barang mahal dan bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja. Penyebaran informasi menjadi sedemikian cepatnya. Ilmu pengetahuan yang dulunya perlu melalui proses pembukuan yang memakan waktu, kini dapat dibagikan dengan segera. Apalagi: berita. Dalam sekejap setelah kejadian, orang di Indonesia bisa mengetahui apa yang baru saja terjadi di Eropa.
Laiknya pedang bermata dua, digitalisasi ini membuka peluang sekaligus tantangan. Baik bagi para ilmuwan, pebisnis, petugas kesehatan, dan tak terkecuali juga ibu rumah tangga. Jika gagal mengejar perkembangan teknologi di era digital, tentunya kita akan merasa sangat tertinggal. Namun, jika tidak berhasil mengelola seluruh kemewahan itu dengan ciamik, yang ada kita hanya akan tenggelam dalam lautan informasi.
Butuh kebijakan dalam menyikapi perkembangan zaman. Apa yang dulu orang tua kita lakukan, belum tentu saat ini masih relevan untuk diterapkan. Ilmu parenting, misalnya. Ayah ibu kita mungkin belum perlu membekali anak-anaknya yang masih balita dengan pondasi agama yang kuat. Toh, bisa dipelajari sambil jalan. Namun saat ini, jika tidak benar-benar ditanamkan sejak dini, bisa-bisa malah kita sendiri yang akan kewalahan.
Menjadi dewasa di era ini dalam hemat saya memiliki dua tantangan utama. Pertama, bagaimana agar saya bisa tetap mengaktualisasi diri sebagai perempuan di tengah kemudahan akses menuju beragam embaran. Kedua, bagaimana saya bisa mempersiapkan agar anak-anak yang saya besarkan kelak mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai zaman. Dua tantangan ini perlu ditaklukkan, dan, siapa sangka? Saya mendapatkan jawabannya pun dari kemajuan teknologi.
Ada sebuah komunitas perempuan yang saya temukan di tengah kegamangan. Sudah lama saya mengamati beberapa kawan yang lebih dulu bergabung di komunitas ini membagikan hasil belajarnya yang unik dan menarik. Mulanya saya kira perkumpulan ini hanya untuk ibu-ibu yang paling tidak anaknya sudah siap masuk TK. Ternyata tidak juga. Perempuan yang baru menikah, atau bahkan belum menikah sekalipun dapat bergabung menimba ilmu di dalamnya.
Komunitas ini bukan sekadar kerumunan yang berkumpul untuk berbincang-bincang seru. Di dalamnya, para anggota dapat menimba ilmu bersama dengan kurikulum yang dirancang sedemikian menariknya berdasarkan pengalaman seorang ibu yang dapat dibilang telah sukses membersamai putra-putrinya. Ibu ini menyadari bahwa peran perempuan yang sudah menikah tidak sebatas menjadi ibu. Baik bekerja di ranah publik maupun domestik, keberadaan ibu tidaklah bisa disepelekan. Dialah Septi Peni Wulandani, penggagas Ibu Profesional, yang memiliki paten atas Jarimatika, Abacabaca, juga JariQur’an dari hasil menjalankan perannya sebagai ibu dengan sungguh-sungguh.
Desember 2020 lalu Ibu Profesional genap berusia sembilan tahun. Gerakan yang dimulai dari komitmen pribadi Septi yang meyakini peran ibu dalam rumah tangga tidak bisa dipandang sebelah mata ini kian meluas, bahkan mengantarkannya ke berbagai penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Inspirasi-inspirasi yang kemudian ditimbulkan begitu cepat menular. Tak heran jika hari ini akun media sosial (Instagram) @ibu.profesional.official sudah diikuti oleh lebih dari enam puluh lima ribu orang dan akun pribadi Septi sendiri mendekati setengahnya. Sangat inspiratif!
Saya bergabung di komunitas ini sejak awal 2019. Saat itu saya sedang membutuhkan lingkungan positif untuk adaptasi dengan fase kehidupan yang baru. Petualangan saya dimulai dengan kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional, tahapan awal dari “kuliah” yang kurikulumnya disiapkan dengan matang berdasar pengalaman pendirinya. Perkuliahan di Ibu Profesional sungguh mengikuti perkembangan zaman. Materi dan penugasan dilakukan secara daring, sehingga dapat diakses dari pelosok Nusantara sekalipun, asalkan terhubung dengan internet.
Dari empat bulan proses pembelajaran saja saya sudah bisa merasakan nilai-nilai positif tumbuh di dalam diri. Impian yang dulu berserakan seolah tersusun kembali, keping demi keping. Menjadi ibu pendamping keluarga bukan berarti mengorbankan diri dengan mengubur mimpi-mimpi. Justru dengan kemudahan teknologi ini kita harus percaya diri untuk menjalankan peran dengan sebaik-baiknya sambil terus mengaktualisasikan nafsi dalam karya.
Ada banyak kesempatan terbuka setelah saya menyelami organisasi ini dalam-dalam. Mulanya saya hanya mengambil peran sebagai moderator di salah satu sesi materi perkuliahan. Selanjutnya saya berkembang dalam cipta dan kreasi bersama, mulai dari membuat buku angkatan, menyelenggarakan seminar dan lokakarya, menggalang dana untuk kegiatan sosial, menerbitkan antologi, hingga yang paling kekinian, saya dan teman-teman terbiasa memproduksi tayangan live streaming layaknya acara TV. Banyak hal yang kemudian kami saling bagikan sesuai latar belakang ilmu dan keahlian masing-masing.
Mengembangkan potensi dan menularkan kebahagiaan bersama nyatanya membuat banyak di antara anggota Ibu Profesional semakin semangat juga menjalankan peran di dalam rumah. Di tambah lagi, di jenjang-jenjang perkuliahan berikutnya; kelas Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, juga Bunda Salihah, kami diajak berlatih mengaplikasikan keterampilan-keterampilan praktis yang menunjang aktivitas sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu. Di kelas Bunda Sayang, misalnya, ada tema-tema belajar yang berganti setiap bulannya berkenaan dengan pengasuhan anak. Diawali dengan komunikasi produktif, stimulasi beragam kecerdasan seperti literasi, matematika dan finansial, penumbuhan fitrah seksualitas, hingga penyadaran bahwa setiap anak lahir dengan membawa karakter unik dan keunggulannya masing-masing.
Kelas-kelas berikutnya tidak kalah serunya. Yang pasti, kami ditantang untuk terus memperkaya wawasan dan melejitkan potensi dengan semangat belajar, berkembang, berkarya, berbagi, dan berdampak. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, sebaik-baik ibu pendamping keluarga adalah yang mampu menggerakkan dan menginspirasi sekitarnya dengan banyak nilai kebaikan tanpa mengabaikan tanggung jawab utamanya.
Menurut saya, agar bisa mengimbangi perkembangan teknologi dan pesatnya laju informasi sebagai tantangan utama di era digital diperlukan kemampuan beradaptasi yang tinggi dan juga pendewasaan. Penting memiliki lingkungan yang mendukung guna meraih keduanya secara simultan. Dengan memilih komunitas yang tepat sebagai ruang berkembang ialah salah satu kunci jawabannya. Teringatlah saya akan sebuah ujaran, “Berjalan sendiri membuatmu berjalan lebih cepat, tapi berjalan bersama membuat kita berjalan lebih jauh dan bertahan lebih lama”.
Saya ingin bercerita tentang salah satu pengalaman saya di Ibu Profesional membuat karya bersama. Saat itu saya tergabung di Ibu Profesional regional Lampung. Di dalamnya terdapat sekelompok perempuan yang sama-sama berbinar dengan literasi. Ada yang gemar membaca, hobi menulis, bahkan salah satu diantara kami telah membidani kelahiran komunitas Blogger tingkat provinsi. Saya melihat potensi dari kawan-kawan saya yang memang mengazamkan untuk menerbitkan sebuah antologi di tahun pertama kelompok penggemar literasi itu resmi berkumpul dalam sebuah “rumah belajar” (subkomunitas di bawah naungan Ibu Profesional.red).
Pada saat itu, yang belum dimiliki oleh teman-teman di rumah belajar literasi Lampung adalah momentum untuk mulai bergerak. Perlu ada koordinator yang mampu mengawal dan mendampingi keberlangsungan proses produksi. Singkat cerita, saya dipercaya menjadi penanggung jawab untuk pengerjaan antologi tersebut. Dengan pengalaman berorganisasi semasa kuliah, saya membantu mengatur rapat-rapat, menyelenggarakan pengayaan materi seputar teknik kepenulisan, menetapkan alur kerja, hingga setelah tiga bulan proses berjalan, buku sudah berhasil terdistribusi ke tangan masing-masing pelanggan. Wow! Benar-benar tiga bulan. Waktu yang kami pun tidak menyangka sedemikian singkatnya untuk pengalaman pertama.
Hal tersebut tidak akan terjadi tanpa kolaborasi yang apik, dengan masing-masing anggota berkontribusi sesuai porsinya. Ada yang membantu dengan berbagi ilmu yang sudah dikuasai, ada yang mengambil peran dalam penyuntingan, ada yang membagikan referensi kantor penerbitan, merancang strategi penjualan, hingga mengusahakan figur publik untuk turut memberikan testimoni atau ulasan saat buku akan dipasarkan.
Berkarya bersama seperti ini membuat langkah demi langkah tidak lagi terasa mustahil. Kabar terbaiknya, kami tetap dapat menjalankan peran mendampingi suami dan anak-anak tanpa tertatih-tatih. Malah, kebahagiaan saat berhasil merampungkan karya ini dapat kami tularkan hingga kami pun menjadi kebanggan keluarga. Kami sama-sama belajar, dan sebagai penanggung jawab, tentunya saya mendapatkan keuntungan serta pembelajaran paling banyak.
Dari antologi bertajuk “Curahan Hati Ibu Era Digital” tersebut ada banyak referensi menarik yang bisa kita dapatkan. Walau sebagian besar berisi pengalaman pribadi masing-masing penulis, selalu ada hikmah dan pemahaman mendalam dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Bahkan salah seorang pembaca yang berdomisili di luar negeri mengatakan sangat terkesan dengan sikap orang tua yang dituturkan dalam kisah soal regulasi gawai untuk anak. Bukankah guru terbaik adalah pengalaman? Dan alangkah baiknya jika kita bisa saling mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain.
Kita tidak tahu akan seberapa menantang lagi kemajuan peradaban di masa mendatang. Bersiaplah dan bergandengan tangan. Sebab para ibu juga berhak meraih kebahagiaan dengan bertumbuh setinggi-tingginya, berkarya sebanyak-banyaknya, serta bermanfaat seluas-luasnya. Temukan caramu dan mari jawab tantangan ini bersama.
Penulis: Halida Umi Balkis
Comments