top of page

Dari Online ke Offline


Menjadi fasilitator kelas offline di Institut Ibu Profesional sesungguhnya telah menjadi impian sejak beberapa waktu yang lalu. Dan di kelas bunda sayang #5 ini alhamdulillah dapat terlaksana. Bagi saya pribadi, menjadi fasilitator offline adalah sebuah kebutuhan. Setelah menjadi fasil online, maka saya perlu menaikkan kemampuan saya dengan belajar menjadi fasil offline. Mengapa? Karena menurut saya, saat menjadi fasil offline maka kita mendapatkan tuntutan yang lebih besar.

Pertama, adalah masalah penguasaan materi. Di kelas online, saat kita menghadapi pertanyaan atau permasalahan yang sulit dijawab, dengan mudah kita berselancar di dunia maya atau bertanya pada teman teman sesama fasil. Akan tetapi di kelas offline hal seperti itu tentu saja tidak dapat dilakukan. Artinya fasil kelas offline perlu memiliki pemahaman yang ekstra mendalam pada materi. Sebuah tantangan baru bagi saya pribadi. Menjadi fasil offline artinya wajib mendalami materi lebih dalam lagi. Dan harus lebih jauh memahaminya. Artinya saya tidak boleh hanya puas dari satu sumber saja. Perlu memperbanyak sumber-sumber bacaan dan referensi terkait.



Selanjutnya adalah tentang teknik publik speaking. Menjadi fasil offline artinya mau tak mau harus belajar teknik public speaking. Bagaimana caranya agar kita mampu tampil di depan peserta kuliah, menyampaikan materi, dan berdiskusi dengan baik. Bagaimana agar materi apa yang perlu kita sampaikan dapat diterima oleh teman-teman.

Ya, menjadi fasilitator kelas offline artinya saya sedang melakukan perubahan yang menurut saya positif dan penting bagi diri saya pribadi. Dari online ke offline. Dari dunia maya, beralih ke dunia nyata. Yang real dan betul-betul dapat diraba.

Yang Sempat Terlupa


Akan tetapi ternyata, sesiap apapun saya menghadapi kelas offline, tetap saja ada hal-hal yang membuat saya sedikit shock dan kaget. Yakni tentang budaya kelas offline di grup WA. Saya terbiasa dengan kelas WA yang ramai, hangat, dan penuh dengan percakapan. Tapi ternyata klas offline tentu berbeda. Hal ini sangat terasa saat di materi Pra-Bunsay. Teman-teman kelas offline memiliki jam offline yang sangat terbatas. Awal agak kaget. Karena chat saya bisa sampai seharian tidak ada yang menanggapi. Tapi kemudian saya kembali sadar bahwa ini kelas offline. Teman-teman memilih kelas offline pun pasti salah satu alasannya adalah karena terbatasnya jam online yang mereka miliki.

Dan alhamdulillah sekarang sudah mulai terbiasa dengan WAG kelas yang sunyi sepi sendiri.

Pelajaran bagi saya kedepannya untuk mulai terbiasa dengan perbedaan budaya kelas online dan offline

Ragam Peserta


Salah satu keuntungan di kelas offline adalah saya bertemu dengan teman-teman peserta kuliah dari regional sendiri. Artinya, sebelumnya beberapa diantara kami telah memiliki kedekatan dan saling mengenal. Walau memang beberapa orang hanya dekat secara online saja di WAG regional. Bersyukur di kelas offline ini akhirnya kami dapat bertatap muka.

Peserta kelas Offline Banyumas Raya yang perdana kali ini cukup beragam. Beragam usia, walau rata-rata peserta kuliah adalah ibu-ibu muda dengan anak-anak yang masih balita, tapi ada juga yang sudah memiliki anak yang sudah besar. Walau tetap saya yang paling tua kayaknya. Anak saya tetap yang paling besar, hehe. Alhamdulillah jadi menang pengalaman saya, hehe. Dilihat dari latar belakang pendidikan, peserta kuliah rata-rata memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Hampir semua berlatar belakang pendidikan sarjana. Bahkan ada yang berprofesi sebagai dosen dan guru. Hampir setengahnya bekerja di ranah publik, dan atau memiliki bisnis yang cukup sukses. Inilah alasan mengapa kuliah bunsay kelas Offline Banyumas Raya hanya dilakukan di hari Minggu. Hal ini tentu menjadi dorongan kuat bagi saya pribadi untuk terus memperdalam materi yang akan diberikan mengingat peserta kuliah adalah orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan seperti demikian. Tantangan yang menarik. Peserta kuliah kali ini pun tidak semua berasal dari Purwokerto. Ada yang berasal dari Banjarnegara, Bumiayu, dan Purbalingga. Banjarnegara sendiri membutuhkan waktu 2,5 jam untuk sampai ke Purwokerto. Bumiayu membutuhkan waktu normal sekitar 1-2 jam ke Purwokerto. Dan Purbalingga memerlukan perjalanan sampai 1 jam ke Purwokerto. Bahkan sekretaris kelas adalah seorang ibu yang sehari-hari bekerja di Bekasi yang setiap akhir pekan mudik ke Purwokerto. Artinya, saat kopdar dia menghabiskan waktu liburnya dengan kuliah. Pertemuan Pertama Kopdar pertama kami dilaksanakan hari Minggu tanggal 30 Maret 2019. Pertemuan perdana ini digelar di rumah mba Asiyah salah satu mahasiswi kuliah. Rumahnya yang cukup luas memberikan kenyamanan bagi mahasiswi yang hadir. Apalagi hampir semua mahasiswi membawa anak-anaknya turut serta. Sudah hampir mirip TK dadakan disana. Beberapa suami pun turut serta mendampingi. Pertemuan pertama memiliki jadwal pertemuan yang agak panjang. Sebab selain materi pertama, sebelumnya kami membahas terlebih dahulu review dari materi Pra Bunsay. Dimulai dari jam 9 pagi dan berakhir pukul 14.30 WIB. Dari 19 peserta kuliah, hanya dua orang yang tidak hadir. Satu orang izin karena harus mengantar mertuanya pulang. Kemudian yang satu sedang berada di luar kota. Alhamdulillah pertemuan pertama berjalan dengan lancar. Secara keseluruhan, pertemuan berjalan seru, hangat, dan menyenangkan. Teman-teman pun tidak ragu untuk berinteraksi, bertanya dan mengungkapkan pendapat masing-masing. Tantangan 10 Hari Kelas kami memulai tantangan dari tanggal 1-18 April 2019. Dari 19 peserta kuliah, 18 orang mengumpulkan tantangan. Satu orang gagal menyelesaikan sampai 10 hari, hingga tidak lulus dan satu orang lagi sama sekali tidak mengerjakan tantangan.

Membaca laporan tantangan yang mahasiswi kumpulkan menjadi hal menarik lainnya. Mencoba mendalami, memahami apa yang mereka kerjakan, bagaimana proses dari apa yang mereka coba terapkan dalam materi satu.


Pada materi pertama kali ini 17 orang mendapatkan badge dasar, satu orang mendapatkan badge You’re Excellent dan tiga orang mendapatkan badge Outstanding Performance. Semoga bulan depan lebih banyak lagi yang bisa meraih badge terbaik

Pelajaran yang saya ambil dari bulan ini adalah : bahwa di kelas offline, maka pertemuan dan belajar bertatap muka adalah hal yang penting. Dan teman teman kelas offline membutuhkan pertemuan secara tatap muka. Terbukti yang tidak datang kopdar maka akan kehilangan isi materi dan tidak memahaminya. Sehingga isi tantangannya menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu sepertinya bisa dipertimbangkan menggelar dua kali kopdar agar semua bisa dapat materi. Demikian jurnal fasilitator bulan pertama kelas Bunda Sayang #5 kelas Bunda Sayang Offline dibuat.


Rima Melanie Putri, Jurnal Fasilitator Bunda Sayang

109 views0 comments
bottom of page