"Oh gitu ya, ya udah sabar aja"
"Kurang iman tuh" "Mungkin kamu butuh instrospeksi diri lagi" "Yaa... banyakin lagi syukurnya"
“Be positive”
"Namanya juga musibah, sabar, syukur, istighfar, baca do'a yang banyak".
.
.
.
dan Toxic Positivity lainnya. Pertanyaan nya...Apakah kita pernah memposisikan diri sebagai pelaku Toxic Positivity?
Tepatnya...Pernahkah kita tanpa sadar melakukan Toxic Positivity?
Dikutip dari tirto.id, Pada 11 Februari 2019 lalu, dr. Jiemi Ardian, seorang residen psikiatri di RS Muwardi Solo, mengunggah pesan di akun Instagramnya tentang toxic positivity. Dalam unggahan tersebut, ia mendikotomi antara ekspresi-ekspresi empati dan ucapan yang mengandung toxic positivity.
Istilah yang terakhir disebutkan ini merupakan istilah populer yang mengacu pada situasi ketika seseorang secara terus menerus mendorong kenalannya yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sisi baik dari kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan kenalannya itu atau tanpa memberi kesempatan kenalannya untuk meluapkan perasaannya.
Dalam penjelasan mengenai toxic positivity, Urban Dictionary menyebut bahwa kalimat seperti "Kalau kamu tetap positif, kamu akan mengatasi segala kesulitan yang ada" mengabaikan perasaan sesungguhnya dari orang yang sedang bermasalah, seolah-olah perasaan negatif yang dialami dan ingin diungkapkan orang tersebut tidak penting bagi lawan bicaranya.
Mengapa dorongan “be positive” bisa berdampak negatif?
“Tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruknya,” papar Jiemi. “Sering kali, yang di sekeliling mereka mengatakan hal-hal yang seakan-akan positif, padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang yang bermasalah.” Hal yang lebih utama ketika seseorang berhadapan dengan kenalannya yang ditimpa kemalangan bukanlah serta-merta merespons dengan nasihat, apalagi dorongan untuk segera berpikir positif. Mendengarkan orang yang mau berkeluh kesah tanpa sikap menghakimi, atau memberinya kesempatan untuk mengekspresikan setiap emosi sampai mereda adalah hal yang lebih penting dilakukan si lawan bicara.
Jadi Bunda, ketika ada sahabat kita curhat entah curhat secara langsung atau lewat grup WA, ada baiknya tidak langsung kita suruh berpikir positif, alih-alih coba yuk kita praktekkan kalimat ini : "Oh gitu yaa,, sepertinya sulit ya melihat hal-hal yang baik. Saya mencoba memahamimu ...”
“Wajar jika kita merasa kecewa dalam keadaan ini” “Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini, ya…” Buat referensi tentang toxic positivity, coba bunda lihat video ini :
Be a good listener and validate her feelings.
(mbakrizq)
Comentarios